Mahakata.com – DPRD Kaltim telah menetapkan dan mengusulkan tiga calon Penjabat (Pj) Gubernur Kaltim ke Mendagri RI.
Tiga calon Pj Gubernur Kaltim ini ditetapkan melalui Rapat Pimpinan (Rapim) DPRD Kaltim di Surabaya, 5 September 2023 kemarin.
Dasar penetapan calon berdasarkan voting dari 8 Fraksi dan 4 Pimpinan DPRD Kaltim.
Hanya saja mekanisme penetapan tiga calon Pj Gubernur disorot oleh Ismail, Anggota Fraksi Demokrat-Nasdem.
Ismail merasa pemilihan 3 nama calon Pj Gubernur terkesan tertutup.
“Saya baca di media, sudah ada tiga calon nama Pj Gubernur yang dipilih saat rapim di Surabaya. Dalam rapim itu terjadi dinamika, katanya pemilihan melalui voting. Nah sistem voting ini mengganggu saya,” kata Ismail, Kamis (7/9/2023).
Menurutnya, pemilihan calon Pj Gubernur ini untuk kepentingan masyarakat Kaltim. Maka sudah seharusnya terbuka. Selain itu, tidak ada yang menyatakan aturan baku untuk menentukan nama calon Pj Gubernur.
“Di satu sisi, kan tidak ada aturan baku yang mengatur tentang bagaimana menentukan PJ itu. Tidak ada di undang-undang, tidak ada juga di tata tertib (tatib). Sehingga, ini harus didiskusikan,” jelasnya.
“Kalau peraturannya ditentukan oleh DPRD. Maka pemahaman saya, berarti DPRD itu ada 55 orang, tidak satu orang (perwakilan fraksi). Putusan DPRD berarti dilakukan 55 anggota. Tapi ini yang voting hanya 8 orang (8 fraksi) berarti kurang fair,” lanjutnya.
Disinggung apakah sudah ada pembahasan soal Pj Gubernur dengan Fraksi Demokrat-Nasdem, ia mengatakan bahwa pasti ada perwakilan dari Fraksi Demokrat-Nasdem.
Hanya saja, pria kelahiran 24 Maret 1976 ini tetap tidak terima pemilihan Pj Gubernur dilakukan dengan sistem voting perwakilan fraksi.
“Tidak bisa kalau voting, kan ada yang jumlah fraksinya lebih banyak dan kecil. Ini sama-sama satu, enggak boleh, tidak adil. Boleh voting mengatasnamakan fraksi, akan tetapi mereprestasikan jumlah anggotanya,” katanya.
Lalu pertanyaannya lanjut Ismail, bagaimana apabila ada anggota yang tidak setuju bahkan membantah putusan fraksi. Otomatis, urusan internal. “Silahkan, tidak usah diperpanjang lagi. Berarti untuk usulan baru atau voting terbuka lagi itu enggak perlu,” paparnya.
Kendati begitu, seharusnya jumlah suara itu berdasarkan seluruh anggota masing-masing fraksi.
Namun sistem voting saat ini justru melalui perwakilan fraksi, sehingga dihitung 1 suara. Ismail merasa dirugikan, terutama jika berbicara untung rugi.
“Kita tidak boleh lepas dari asas keadilan, sebab dengan itu putusannya akan baik untuk Kaltim. Kalau mekanismenya seperti yang didiskusikan banyak orang, apalagi tidak melibatkan banyak pihak. Hasilnya pasti tidak terlalu maksimal,” tegasnya. (*)